Perjalanan dimulai saat acara buka bersama teman SMP, di salah satu tempat makan di Pondok Cabe.
Ngobrol-ngobrol dari menjelang maghrib, sampai akhirnya cukup kenyang, tercetuslah rencana untuk liburan di tengah tahun 2018 ini. Maklum, tahun kedua di perkuliahan ini bisa dibilang tahun yang amat berat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dimana masih bisa senang-senang sebagai maba. Banyak-banget pilihan tempat yang menjadi daftar buat liburan kali ini, namun singkat cerita diputuskanlah rencana itu ke Ranca Upas, Ciwidey, Bandung!
Jumat, 13 Juli 2018
Pukul 21.00 kita berkumpul di rumah Rizva, karena rencana akan berangkat jam 3 dini hari dari Jakarta. Biar gak ada yang ngaret, katanya.Seperti yang sudah diduga, kita baru berangkat jam 5, setelah shalat Shubuh. Tapi gapapa, matahari belum muncul, waktu kita gak sedikit-sedikit amat.
Kita pun berangkat!
Berkutat dengan kemacetan di daerah Karawang dan Cikarang Utama, akhirnya kita sampai Bandung dengan keluar TOL melalui gerbang Kopo/Soreang. Jam sebelas siang alias ENAM jam kita baru sampai Kopo. Perjalanan belum selesai, Ciwidey itu masih +/- 1,5 jam dari Kopo, jadi kita langsung lanjutin perjalanan sebelum sore-sore banget. Gak ada macet yang berarti, lamanya perjalanan murni karena jarak aja. #ciegitu
Sampai Ciwidey kita mampir di Kawah Putih dulu, bukan untuk berwisata, cuma foto-foto, numpang shalat dan cari makan aja. #mahasiswa
Pukul 15.30
Karena sudah terlalu sore dan takut keburu gelap, kita pun langsung masuk ke kawasan Ranca Upas. Cuma berjarak 5 menit aja kok dari Kawah Putih, sebrang-sebrangan doang.Mungkin kalian masih berandai-andai, sebenarnya Ranca Upas ini tempat apa dan bisa ngapain aja, sih?
Menurut gua ini lokasi yang sangat pas untuk liburan yang alam-alam gitu, baik dengan keluarga maupun kawan sejawat. Mulai dari aktivitas memanah, berkuda, kemudian ada penangkaran rusa juga yang /instagram-able/ parah, terus ada kolam renang, coffee shop, dan yang pengen kita lakuin adalah....camping!
———
Oke, sebelum masuk tentang bagaimana pengalaman camping di sana, kita itung-itungan dulu nih mengenai biaya yang dikeluarkan.Kita dari awal udah membuat daftar apa saja yang mau dibawa. Kemudian dibagi-bagi, barang mana saja yang bisa minjem #mahasiswa, yang bisa dibawa masing-masing dari rumah #masihmahasiswa, dan apa saja yang (dengan terpaksa) harus beli.
Mulai dari makanan, minuman, tenda, lampu senter, ya..semacam itu lah sama kayak list bawaan anak sd pas mau persami.
Pas ngumpul buat bagi-bagi tugas |
Total biaya yang ditanggung adalah 200rb per orang (dimana kita ada 8 orang).
Nominal itu sudah nutupin ticket masuk Ranca Upas juga, dimana totalnya adalah +/- 220ribu (8 ticket orang + mobil untuk menginap).
———
Lanjut.
Setelah bayar ticket di loket depan, kita pun masuk ke dalam sambil mencari spot camping yang asik. Asli, tempatnya luas banget dan ada banyak camping ground gitu, masing-masing lokasi pemandangan dan suasananya beda, tinggal pilih deh tuh mau yang kayak gimana!
Kita saat itu memilih lokasi di camping ground yang paling luas, dikelilingi bukit-bukit dengan rerumputan yang kuning kecoklatan. Moody abis suasananya.
Dengan semangat penuh kita langsung turunin barang dan mendirikan tenda di spot yang rada jauh dari kerumunan, karena kayaknya kurang enak aja gitu kalo terlalu berdekatan, kurang private.
Ohiya, di sini kita gak perlu takut soal air dan pertoiletan! Karena di setiap camping ground ada toiletnya masing-masing. Musholla pun ada dan nyaman banget. Juga ada warung yang buka 24 jam dimana mereka gak cuma jual makanan/minuman, tapi juga jual kayu bakar khusus untuk pengunjung yang mau bermalam di sini. Lengkap parah, sih.
Pukul 18.00
Hari sudah gelap, udara pun semakin mengusik kehangatan. Para ibu-ibu mulai memasak indomie (yang tentunya sudah kita bawa dari rumah) dan bapak-bapak alias yang cowok mencoba untuk menyalakan api unggun untuk menghangatkan diri.Setengah jam.
Satu jam.
Api belum kunjung merubah tumpukan kayu menjadi api unggun. Mungkin karena udara yang cukup dingin dan berembun menyebabkan kayu nya sedikit lembab? Itu hipotesis kita. Ditambah gerimis yang tiba-tiba datang, kita pun panik, apalagi mie belum tuntas semua dimasak. Udah sempet beres-beres untuk ngungsi aja ke tenda, eh 15 menit kemudian reda.
Lanjut deh tuh usaha menyalakan api, kemudian makan di bawah langit berbintang yang seringnya berawan. Tapi dinginnya udara sudah semakin menjadi-jadi. Motivasi untuk membuat api unggun pun menjadi bertambah.
Pukul 21.30
Pada akhirnya api unggun akhirnya berhasil dibikin.(Setelah ratusan kali percobaan dan melihat tutorial di Youtube)
Tapi tetep, achievement unlocked: Membuat api unggun sendiri.
Padahal tadinya udah hampir nyerah karena iri liat tenda-tenda lain udah berhasil, sedangkan kita masih kedinginan-parah tanpa penghangat apapun. Malem itu emang gila, suhunya sampe 12•C. Beruntung kita berhasil bikin api unggun. Akhirnya kehangatan menyelimuti kita semua. #ciegitu
Setelah cukup hangat, satu persatu dari kita memilih untuk masuk ke tenda dan memulai tidur-cantiknya, termasuk gua-yang baru sadar belum istirahat sejak nyetir seharian dari Jakarta.
Masuk ke tenda, tidak semenyenangkan itu. Di dalam tenda tetep aja dingin. Tapi gua tetep harus tidur, bahaya karena besok harus nyetir lagi.
Tidak singkat cerita, malam itu sangaaatt panjang.
Setiap 1 jam sekali bangun, karena kedinginan. Yang lain udah pada masuk tenda dengan pakaian tebalnya masing-masing serta selimut di atasnya. Kami semua tidur dengan posisi yang sama; meringkuk kedinginan.
Asli, ga nyenyak pisan.
Pukul 02.00
Saat terbangun, ngecek hp. Masih jam 2 pagi. Gua ngerasa tidur udah lama banget, ternyata baru berapa jam. Gakuat parah dinginnya. Udah pake celana dobel, sarung (yang buat sholat), sarung tangan, sweater. Masih tembus itu udara.Di saat yang bersamaan ternyata ada yang udah bangun juga, yaitu si Sultan yang lagi duduk sambil dipijetin, masuk angin ternyata.
Gak lama akhirnya dia nyerah dan memilih untuk tidur di mobil. Mobil yang diparkir di luar sana—di tengah dinginnya malam dan kabut tebal—mungkin 100 meter jaraknya dari tenda ke mobil. Tapi dia tetap memantapkan niat #ciegitu karena tentu di dalam mobil jauh lebih hangat dibanding di tenda.
Gua yang sebenarnya masih ngantuk pun mencoba untuk memejamkan mata kembali. Berharap saat bangun sudah bisa merasakan hangatnya sang mentari. #halah
Tapi semesta berkata lain, jam 03.30 gua terbangun lagi. Saat ini yang lain juga sudah bangun dan duduk ngobrol. Cuma Dini yang masih tiduran—tapi dia bangun, karena ikutan ngobrol juga. Gua pun ikut duduk dan ngobrol (alias mengeluh karena kedinginan wkwk). Ternyata kalau lagi ngobrol gini bikin hangat juga—yaaa setidaknya gak sedingin sebelumnya.
Pukul 04.30
Gak kerasa kita ngobrol sampai jam segini, senang karena dikit lagi matahari terbit. Gua, Daffa, dan Rizva pun memutuskan untuk keluar dan ke Musholla untuk shalat Shubuh. #pencitraanPas buka tenda tuh udara dari luar dingin banget coy jangan dikira, tapi kita tetep jalan dan melawan semua kedinginan yang ada. Halah.
Singkat cerita kita bertiga selesai dan kembali ke tenda sambil membawa kayu bakar yang dibeli di warung. Karena persediaan sudah habis semaleman. Gak lama api nyala kembali, kemudin matahari pun perlahan-lahan memunculkan diri. Sebuah penantian yang panjang, mungkin bukan hanya kami, tetapi juga para pengunjung yang lain kuga sudah menantikan kehadirannya. Asek.
Ini momen matahari terbit terindah yang pernah gua lihat. Meskipun berawan (tentu mataharinya tidak terlihat), tapi pemandangan di sini yang oke banget. Padang rumput berwarna kecokelatan dihinggapi kabut yang tebal serta dikeliling bukit hijau. Perfect!
Gak usah banyak berkata, langsung aja ini dilihat hasil hunting foto di pagi itu.
Sekalian gua akhiri aja nih ya cerita kali ini, lumayan berkesan sih karena ini diketik lewat HP selama perjalanan kereta api dari Jakarta ke Malang.
Nantikan juga cerita seru gue dan teman-teman di Malang, Jawa Timur. Ciao!
Eh iya ada tambahan, setelah kita pulang dari Ranca Upas kita ketemuan dulu sama Khalisa di Bandung Kota. Terus kulineran sama muter-muter Bandung, deh!